Jumat, 28 Desember 2018

Jangan Bebisik Berduaan Tanpa Menyertakan Orang Ketiga

 ❎⛔Larangan Berbisik Bagi Dua Orang dengan Tidak Menyertakan Orang Ketiga

📖 Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi; al-Qur’an – Hadits

💜Firman Allah: “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan.” (al-Mujaadilah: 10)

💡Dari Ibnu Umar ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila ada tiga orang, maka janganlah dua orang di antara mereka itu berbisik-bisik tanpa mengikut sertakan orang ketiga.” (HR Bukhari dan Muslim)

💡Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan ada tambahan bahwasannya Abu Shalih bertanya kepada Ibnu Umar: “Bagaimana kalau ada empat orang?”Ibnu Umar menjawab: “Tidak apa-apa.” Di dalam kitab al Muwaththa’, Malik meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Dinar dimana ia berkata: “Saya bersama-sama dengan Ibnu Umar berada di rumah Khalid bin Ukbah yang berada di pasar, kemudian ada seseorang yang bermaksud berbisik-bisik dengannya dan tidak seorangpun di dekat Ibnu Umar kecuali saya, Ibnu Umar lantas memanggil orang lain sehingga kami berempat.

💡Ibnu Umar berkata kepada saya dan kepada orang ketiga yang dipanggil itu: “Silakan kalian menyisih sebentar, karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Janganlah ada dua orang berbisik-bisik tanpa mengikut sertakan satu orang yang lain.”

💡Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik-bisik tanpa mengikutsertakan yang lain, sehingga kalian berkumpul dengan orang banyak, karena yang demikian itu bisa menyusahkan orang yang tidak diajak berbisik-bisik.” (HR Bukhari dan Muslim)

   ♻💡♻💡♻💡♻💡♻

Selasa, 25 Desember 2018

Ajarkan Aqidah pada Anak

Apakah terpikirkan oleh keluarga bahwasannya terkadang mereka merusak fithrah seorang anak!?

▪ Misalnya seorang anak sedang ketakutan, ibu berkata padanya "jangan takut... Ibu bersamamu."
Diulang terus ke pendengarannya bahwa ibunya selalu ada disampingnya. Tumbuh anaknya itu dengan melawan rasa takut dengan sebab adanya seorang ibu.

▪seorang ayah berkata pada anak2nya
"Janganlah kalian takut sepanjang ayah memiliki gaji pada awal bulan, ketika ayah menggenggam gaji, ayah kan membelikanmu sepeda dan permen yg kau minta."

Berkata dokter2 psikolog : Bahwasannya manusia dari sejak masa kanak2 merasa membutuhkan dan lemah. Dan diri mereka membutuhkan tempat bergantung kepada seseorang yang mempunyai sifat Kuat, Sempurna, Kaya, dsb....

▫Oleh karena itu, Para produser film kartun di acara anak2 mengandalkan pada pembuatan tokoh film berkepribadian yg diada-adakan, seperti Superman, yang memantau manusia dari atas, dan datang untuk menolong yang disukainya, dan dia memiliki kekuatan!?

▫Dan yg lainnya dari tokoh2 kartun yang memiliki sifat2 yang sama.
Semua ini memenuhi hati dan fikiran anak2, karna fithrahnya membutuhkan kepada 'sesuatu yang lebih kuat'.

Anda, jika belum memenuhi hatinya dengan ketergantungan kepada Allah maka akan datang seseorang yang memenuhi hati anakmu dengan ketergantungan pada selain Allah dari tokoh2 khayalan.

▫Jadikanlah dia merasakan keamanan yang hakiki kepada yang lebih kuat dan lebih kaya darimu.

▫Jadikanlah ketergantungannya itu kepada ALLAH karena Anda akan menutup kebutuhan fitrahnya dan akan tetap stabil hingga apabila dia sendirian dengan berjalannya waktu...
Dia tidak akan takut jikalau menghadapai kesusahan hidup, karena dia tahu bahwasannya pelindung adalah Allah, dia akan merasa aman dan bahwa Allah menjaganya.
Karena Anda telah menjelaskan padanya bahwasannya sebaik-baik penjaga adalah Allah yang menjagamu, saudara2mu, menjaga ayahmu dan ibumu. Dia akan meniti jalannya dalam keadaan tawakal bersandar kepada Allah di dalam hidupnya.

Ulang-ulanglah pada pendengarannya dari sejak dini :

▫Allah menjaga kita
▫Allah memberi kita rizki
▫Allah memberi kita taufik
▫Allah bersama kita


Al-Ustadz Anaahi Asseemri (Madkhol Lidiroosah Al Aqiidah)

✅ Warisan kedua orang tua yg paling agung untuk anak2nya bukan harta dan kekayaan, akan tetapi Aqidah yang kokoh dan hati yg beriman kepada Allah ❣

~
Diterjemahkan oleh :
Anis Ummu Haura AsSundawiyyah

Faedah dari Grup WA Tarbiyatul Athfal.

#SelfReminder


Muhasabah Diri: Sikap Keliru dalam Dakwah

Semoga ini bisa jadi bahan renungan khususnya untuk diri ana dan untuk semua sahabat fillah.. Agar bisa intropeksi diri menjadi pribadi yg ihklas semata hanya karna Allah.. Aamiin.

Kami sempat melakukanya di awal-awal kami mengenal dakhwah ahlus sunnah wal jama’ah karena kebodohan kami akan ilmu. Kemudian kami ingin membagainya supaya ikhwan-akhwat bisa mengambil pelajaran dan mengingatkan mereka yang telah lama mengenal anugrah dakwah ahlus sunnah khususnya  kami pribadi. Beberapa hal tersebut ada sepuluh berdasar pengalaman kami:

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar.

2. Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain.

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah.

4. Keras dan kaku dalam berdakwah.

5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar.

6. Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh.

7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/ tokoh agama tertentu.

8. Tidak serius belajar bahasa arab.

9. Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik.

10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang yang shalih serta tenggelam dengan kesibukan dunia.

Kemudian kami coba jabarkan satu-persatu.

1. Merasa lebih tinggi derajat dan akan terbebas dari dosa karena sudah merasa mengenal Islam yang benar
Ketika awal-awal mengenal dakwah ahlus sunnah bisa jadi ada rasa bangga dan sombong bahwa ia telah mendapat hidayah dan merasa ia sudah selamat dunia-akherat. Padahal ini baru saja fase yaqzhoh [bangun dari tidur], awal mengangkat jangkar kapal, baru akan mulai mengarungi ilmu, amal, dakwah dan bersabar di atasnya.

Ingatlah, janganlah kita menganggap diri kita akan selamat dari dosa dan maksiat hanya karena baru mengenal dakwah ahlus sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32)

Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuz Abadi  rahimahullah menukil penafsiran Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma tentang ayat ini:

فَلَا تبرئوا أَنفسكُم من الذُّنُوب {هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقى} من الْمعْصِيَة وَأصْلح

“Jangan kalian membebaskan diri kalian dari dosa dan Dialah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa/takut dari maksiat dan membuat perbaikan” [Tanwirul Miqbaas min tafsiri Ibni Abbaas 1/447, Darul Kutubil ‘Ilmiyah, Libanon, Asy-Syamilah]

Seharusnya jika kita menisbatkan pada dakwah salafiyah maka ingatlah pesan salaf [pendahulu] kita yaitu sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,

لو تعلمون ذنوبي ما وطئ عقبي اثنان، ولحثيتم التراب على رأسي، ولوددت أن الله غفر لي ذنبا من ذنوبي، وأني دعيت عبد الله بن روثة. أخرجه الحاكم وغيره

“Kalau kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak akan ada dua orang yang berjalan di belakangku dan sungguh kalian akan melemparkan tanah di atas kepalaku, dan aku berangan-angan Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil Abdullah bin Kotoran.” (HR.Hakim dalam Al-Mustadrok 3:357, no 5382, Ibnu Abi Syaibah  dalam Mushonnaf 7:103, no 34522dan Al-Baihaqi  dalam Syu’abul Iman 1: 504, no 848, shahih)

2.Terlalu semangat menuntut ilmu agama sampai lupa kewajiban yang lain

Semua ikhwan-akhwat baru “ngaji” pasti semangat menuntut ilmu, karena banyak ilmu agama yang selama ini mereka yakini kurang tepat dan mereka dapatkan jawabannya dalam manhaj dakwah salafiyah yang ilmiyah. Akan tetapi ada yang terlalu semangat menuntut ilmu sampai lupa kewajibannya. Contoh kasus:

–          Ikhwan kuliah di kampus, ia diberi amanah oleh orang tuanya untuk belajar di kota A, menyelesaikan studinya, pulang membawa gelar dan membahagiakan keduanya.Kedua orang tua bersusah payah membiayainya. Akan tetapi ia sibuk belajar agama di sana – di sini dan lalai dari amanah orang tua yang WAJIB juga ditunaikan. Nilainya hancur dan terancam Drop Out. Tentu saja orang tuanya bertanya-tanya dan malah menyalahkan dakwah salafiyah yang ia anut. Ia pun tidak menjelaskan dengan baik-baik kepada kedua orang tuanya.

–          Seorang suami yang sibuk menuntut ilmu agama dan menelantarkan istri dan anaknya. Melakukan safar tholabul ilmi ke berbagai daerah, langsung membeli kitab-kitab yang banyak dan mahal. Padahal ia agak kesusahan dalam ekonomi dan tidak memberikan pengertian kepada istri dan anak-anaknya.

Kita seharusnya memperhatikan firman Allah:

 وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’am: 141). Artinya, mempelajari ilmu juga harus bisa memperhatikan kewajiban lainnya, yaitu kewajiban bakti pada orang tua dan memberi nafkah pada keluarga. Dan jika kita perhatikan, orang-orang seperti ini hanya [maaf] “panas-panas tahi ayam”. Semangat hanya beberapa bulan saja setelah itu kendor bahkan futur [malas dan jenuh].

3. Kaku dalam menerapkan ilmu agama padahal Islam adalah agama yang mudah


Allah Ta’ala mengkhendaki kemudahan bagi hamba-Nya. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman,

 يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 185)

Sebagian ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” mungkin dikarenakan masih sedikitnya ilmu terlalu kaku menerapkan ilmu agama sehingga sehingga nampaknya islam adalah agama yang sulit dan tidak fleksibel. Contoh kasus:

–          Seorang akhwat ingin memakai cadar agar bisa menerapkan dan melestarikan sunnah agama islam. Akan tetapi semua keluarganya melarangnya bahkan keras karena nanti disangka teroris dan lingkungan akhwat tersebut sangat aneh dengan cadar. Ia sudah menjelaskan dengan baik-baik tetapi keluarganya yang sangat awam masih belum bisa menerima. Orang tuanya bahkan tidak ridha dan hubungan silaturahmi dengan keluarga menjadi terputus. Dalam kasus ini:

Apabila ia menyakini bahwa cadar hukumnya sunnah maka diterapkan kaidah:

 درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Menolak mafsadat didahulukan daripada mendatangkan mashlahat”. Jika ia memakai cadar maka mendatangkan mashlahat yaitu melaksanakan sunnah, jika ia tidak pakai cadar maka menolak mafsadat yaitu tidak ridhanya ortu dan putus silaturhami. Maka dengan kaidah ini ia wajib menolak mafsadat dengan tidak memakai cadar. Selain itu hukum wajib didahulukan dari hukum sunnah.

–          Begitu juga dengan kasus seorang akhwat kuliah di luar kota, ia harus safar tanpa mahram dan tidak tahan kuliah ikhtilat [bercampur-baur laki-laki dan perempuan], maka ia memutuskan tidak melanjutkan kuliah. Sehingga diminta pulang oleh orang tuanya. Akan tetapi di tempatnya tidak ada kajian dan mejelis ilmu sehingga ia menjadi futur karena ia baru-baru “ngaji”. Sedangkan di kota tempat ia kuliah ada banyak majelis ilmu. Maka keputusan ia berhenti kuliah kurang tepat. Karena diterapkan kaidah:

إذا تعارض ضرران دفع أخفهما

” Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka di ambil yang paling ringan “

Dan banyak kasus yang lain. Intinya kita harus banyak-banyak berdiskusi dengan ustadz dan orang yang berilmu jika mendapatkan seuatu dalam agama yang berat dan sesak terasa jika kita jalankan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

 وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ

“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 159)

4. Keras dan kaku dalam berdakwah


Mungkin ini disebabkan karena terlalu semangat ingin meyebarkan dakwah manhaj salafiyah. Akan tetapi karena sedikitnya ilmu tentang tata-cara berdakwah, dakwah terkesan kaku dan keras. Contoh kasus:

–          Seorang pemuda yang baru mengenal dakwah, ketika pulang langsung menceramahi orang tuanya dan kakeknya. Dan berkata ,“ini haram”, itu bid’ah, ini syirik”. Tentunya saja kakeknya akan berkata, “Kamu anak ingusan kemaren sore, baru saya ganti popokmu, sudah berani ceramahi saya?”.

–          Seorang ikhwan yang baru tahu hukum tahlilan setelah kematian adalah bid’ah. Kemudian ia datang kekumpulan orang yang melakukannya dalam suasana duka. Ia sampaikan ke majelis tersebut bahwa ini bid’ah.maka bisa jadi ia pulang tinggal nama saja.

–          Seorang akhwat yang ingin mendakwahkan temannya yang masih sangat awam atau baru masuk islam. Ia langsung mengambil tema tentang cadar, jenggot, isbal, bid’ah, hadist tentang perpecahan dan firqoh. Ia juga langsung membicarakan bahwa aliran ini sesat, tokoh ini sesat dan sebagainya. Seharusnya ia mengambil tema tauhid dan keindahan serta kemudahan dalam islam.

Seharusnya berdakwah dengan cara yang lembut serta penuh hikmah. Dan berdakwah ada tingkatan, cara dan metodenya. Berpegang pada prinsip yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,

 يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari, Kitabul ‘Ilmu no.69)

5. Suka berdebat dan mau menang sendiri bahkan menggunakan kata-kata yang kasar

Karena terlalu semangat berdakwah akan tetapi tanpa disertai ilmu. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat baru “ngaji” sering terjatuh dalam kebiasaan suka berdebat. Dan parahnya, ia baru hanya tahu hukumnya saja, tidak mengetahui dan menghafal dalil serta tidak tahu metode istidlal [mengambil dalil]. Jadi yang ada hanya berdebat saling “ngotot” tentang hukum sesuatu. apalagi mengeluarkan katakata yang kasar sampai mencaci-maki dan menyumpah-serapah.

Memang ada yang sudah hafal dalilnya dan mengetahui metode istidlal (cara pendalilan). Akan tetapi, ia tidak membaca situasi dakwah, siapa objek dakwah, waktu berdakwah ataupun posisi dia saat mendakwahkan.

Dan ada juga yang berdebat karena ingin menunjukkan bahwa ia ilmunya tinggi, banyak menghafal ayat dan hadist, mengetahui ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya.

Memang saat itu kita menang dalam berdebat karena manhaj salafiyah ilmiyah. Akan tetapi tujuan berdakwah dan nasehat tidak sampai. Orang tersebut sudah dongkol atau sakit hati karena kita berdebat dengan cara yang kurang baik bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Hatinya tidak terima karena merasa sudah dipermalukan, akibatnya ia gengsi menerima dakwah. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ

“Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. (HR. Muslim 55/95)

Yang dimaksud dengan nasehat adalah menghendaki kebaikan. Jadi bukan tujuannya menunjukan kehebatan berdalil dan menang dalam berdebat.

Mengenai suka berdebat, para nabi dan salafus shalih sudah memperingatkan kita tentang bahayanya. Nabi Sulaiman‘alaihis salam berkata kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ، إِيَّاكَ وَالْمِرَاءَ، فَإِنَّ نَفْعَهُ قَلِيلٌ، وَهُوَ يُهِيجُ الْعَدَاوَةَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ

 “Wahai anakku, tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membangkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” (Syu’abul Iman: 8076 Al-Baihaqi, cetakan pertama, Darul Rusdi Riyadh, Asy-syamilah)

Mengenai berkata-kata kasar, maka ini tidak layak keluar dari lisan seseorang yang mengaku menisbatkan diri pada manhaj salaf. Renungkan firman Allah Ta’ala,

 اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى ْ فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. At-Thoha: 43-44). Kepada orang selevel Fir’aun saja harus berdakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kita akan mendakwahkan saudara kita seiman? Maka gunakanlah kata-kata yang lembut dan bijaksana lagi penuh hikmah.

6. Menganggap orang di luar dakwah ahlus sunnah sebagai saingan bahkan musuh

Ikhwan-akhwat baru “ngaji” yang sedang semangat-semangatnya berdakwah ada sebagian yang melihat orang diluar dakwah ahlus sunnah adalah saingan mereka. Padahal mereka adalah sasaran dakwah juga bukan saingan dakwah. Mereka adalah saudara seiman kita. Mereka berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan dalam islam. Seharusnya kita lebih mengasihi dan menyayangi mereka karena mereka punya semangat membela dan menyebarkan islam hanya saja mereka sudah terlanjur salah dalam memahami Islam.Mereka tidak seberuntung kita medapatkan anugrah dakwah ahlus sunnah. Contohnya:

–          Di kampus, ketika bertemu dengan teman-teman yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah, maka mukanya sangar, cemberut, tidak mau menyapa dan tidak membalas salam. Tidak mau duduk bermejelis dengan mereka dan merasakan suasana kekeluargaan islami. Dan parahnya, malah dengan orang kafir mereka lebih akrab dan hangat. Ketahuilah mereka saudara-sudara seiman kita yang lebih patut mendapat perhatian dan dakwah dari kita. Tidak heran jika saudara-saudara kita mengatakan, “Kok kita sesama orang islam saling gontok-gontokan, tapi berbaikan dengan orang kafir”

Allah Ta’ala berfirman:

 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)

–          Di kampung, ada ustadz /kiayi haji/ tuan guru/ tokoh masyarahat yang berdakwah tidak dengan dakwah ahlus sunnah. Maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang seolah-olah meremehkan mereka, menganggap mereka aliran sesat, ilmunya salah dan ngawur, Tidak menghormati mereka. Padahal belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi mereka amalnya sedikit yang benar tapi sangat ikhlas, mengalahkan amal kita yang –sekiranya benar insya Allah- tapi tidak ikhlas dan dipenuhi dengan riya’ dan dengan rasa sombong mampu beramal. Seharusnya kita memposisikan mereka sesuai dengan posisi mereka, menghormati mereka dan memilih kata-kata dakwah yang baik dan tidak terkesan menggurui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda memerintahkan agar kita memposisikan manusia sesuai dengan kedudukuannya masing-masing. Salah satu penerapan beliau adalah surat beliau kepada raja Romawi Heraklius:

باسم الله الرحمان الرحيم

من محمد رسول الله إلى عظيم الروم

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dari Muhammad utusan Allah kepada pembesar/ tokoh besar Romawi”

Kemudian jika mereka tidak menerima dakwah kita maka ada sebagian ikhwan-akhwat yang langsung mengangapnya sebagai musuh. Mereka akan merusak agama islam, mencap sebagai ahli bid’ah dan syirik dan tahu kaidah pembid’ahan dan pengkafiran. Padahal mereka tetap saudara kita dan masih berhak mendapatkan hak-hak persaudaraan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تحاسدوا ولا تَناجَشُوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ,وكونوا عباد الله إخواناً. اَلْمُسْلِمُ أَخُو المسلمِ: لا يَظْلِمُهُ ولا يَخْذُلُهُ ولا يَكْذِبُهُ ولا يَحْقِرُهُ

 “Jangan kalian saling hasad, jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya.(HR. Muslim no. 2564)

Jika mereka tidak menerima, maka tugas kita hanya menyampaikan saja. Mereka terima Alhamdulillah , jika tidak diterima jangan dipaksa dan dimusuhi. Karena kita hanya memberikan hidayah ‘ilmu wal bayan berupa penjelasan, sedangkan hidayah taufiq hanya ditangan Allah. Seharusnya kita mendoakan mereka semoga mandapatkan hidayah, bukan dimusuhi.

Lihatlah tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtatkala pergi ke Thaif untuk berdakwah sekaligus meminta perlindungan kepada mereka dari tekanan kafir Quraisy setelah meninggalnya paman beliau Abu Thalib.  Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dengan lemparan batu, caci-maki dan ejekan. Tubuh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sampai berdarah-darah. Perasaan beliau makin sedih karena saat itu tahun-tahun ditinggal juga oleh istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha,pendukung dakwah beliau. Kemudian datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam memberi tahu bahwa malaikat penjaga bukit siap diperintah jika beliau ingin menimpakan bukit tersebut kepada orang-orang Thaif. Malaikat tersebut berkata,

يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ، ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْن

 “Wahai muhammad, terserah kepada engkau, jika engkau mnghendaki aku menghimpitkan kedua bukit itu kepada mereka”

Tapi apa yang keluar dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Doa kepada penduduk Thoif. Beliau berdoa,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ، لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

 “Bahkan aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang akan menyembah Allah semata, tidak disekutukanNya dengan apa pun” [kisah yang panjang bisa dilihat di shahih Bukhari no. 3231]

Subhanallah, kita sangat jauh dari cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah. Dan terbukti doa beliau mustajab. Penduduk Thoif tidak lama menjadi salah satu pembela islam dan mengikuti peperangan jihad membela islam.

Mengenai berwajah sangar, seram dan cemberut terus seolah-olah prajurit perang yang marah. Mungkin ini salah persepsi sebagian ikhwan-akhwat karena mereka sering dan terlalu banyak melihat syirik, bid’ah dan maksiat dimana-mana. Seolah-olah menunjukan mereka ingin mengingkari semuanya. Tetapi Islam tidak mengajarkan demikian, seorang muslim berprinsip “Berwajah ceria bersama manusia dan berlinang air mata akan dosanya saat sendiri bermunajat kepada rabb-nya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau remehkan suatu kebajikan sedikitpun, walaupun engkau bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang ceria/bermanis muka”. (HR. Muslim no. 2626)

 
7. Berlebihan membicarakan kelompok tertentu dan ustadz/tokoh agama tertentu


Ada sebagian ikhwan-akhwat yang terlalu tenggelam dan sibuk membicarakan masalah perpecahan dan firqoh. Memang kita harus mempelajarinya agar tahu mana yang selamat, akan tetapi kita jangan terlalu menyibukkan diri membicarakan kelompok-kelompok tersebut. Tema yang terlalu sering diangkat dalam kumpul-kumpul, majelis dan pengajian adalah sesatnya kelompok ini, jangan ikut kajian dengan kelompok itu, menerapkan hajr/memboikot di sana-sini tanpa tahu kaidah meng-hajr. Akhirnya sibuk dan lalai mempelajari tauhid, aqidah, akhlak, fiqh keseharian dan bahasa arab.

Seharusnya ada prioritas dalam belajar. Hendaknya kita lebih memprioritaskan pembicaraan tentang tauhid dan akidah. Itulah seruan pertama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamketika ingin berdakwah. Beliau bersabda kepada Muadz yang diutus ke Yaman,

إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ” – وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله

 “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli kitab maka hendaklah dakwah yang pertama kali engkau sampaikan kepada mereka adalah syahadat Laa ila Illallah , dalam riwayat yang lain: supaya mereka mentauhidkan Allah”. (Muttafaqun ‘alaih)

Selain membicarakan kelompok, sebagian ikhwan-akhwat juga sibuk membicarakan kesalahan dan kejelekan ustadz/tokoh tertentu. Mencap sebagai ahli bid’ah tanpa tahu kaidah pembid’ahan atau mencap kafir tanpa tahu kaidah pengkafiran. Tidak mau ikut pengajian ustadz fulan. Bahkan sampai tingkat ulama. Syaikh fulan terjatuh dalam aqidah Murji’ah, syaikh fulan ikut merestui kelompok sesat, syaikh fulan sudah ditahzir/diperingati oleh syaikh fulan. Parahnya, info yang sampai ke dia hanya qiila wa qoola, berita-berita yang tidak jelas dan belum tahu apakah sudahtabayyun/klarifikasi atau belum. Akhirnya sibuk mencari-cari aib orang lain. Membicarakan kesalahan orang lain.

Seharusnya kita lebih banyak mencari kesalahan kita, merenungi dosa-dosa kita yang banyak. Seharunya kita ingat perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

يبصر أحدكم القذاة في أعين أخيه، وينسى الجذل- أو الجذع – في عين نفسه

“Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 592. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih)

Ustadz/ tokoh tersebut jika memang ia salah, belum tentu kita lebih baik dari mereka. Bisa jadi amal mereka sedikit yang benar tapi sangat ikhlas. Sedangkan kita, seandainya banyak amal kita yang sesuai sunnah tapi tidak ikhlas, dipenuhi riya’ dan rasa sombong mampu beramal banyak. Ajaran islam mengajarkan agar kita tawaddhu’, rendah hati dan mengaggap orang lain lebih baik dari kita.

‘Abdullah Al Muzani rahimahullah berkata,

إن عرض لك إبليس بأن لك فضلاً على أحد من أهل الإسلام فانظر، فإن كان أكبر منك فقل قد سبقني هذا بالإيمان والعمل الصالح فهو خير مني، وإن كان أصغر منك فقل قد سبقت هذا بالمعاصي والذنوب واستوجبت العقوبة فهو خير مني، فإنك لا ترى أحداً من أهل الإسلام إلا أكبر منك أو أصغر منك.

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”(Hilyatul Awliya’ 2,z/226, Abu Nu’aim Al Ashbahani, Asy-Syamilah)

8. Tidak serius belajar bahasa arab


Mungkin ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” sekalipun sudah tahu bahwa hukum mempelajari bahasa Arab, yaitu fardhu. Ada juga yang merinci fardhu ‘ain bagi mereka yang mampu belajar dan bagi orang-orang yang akan banyak berbicara agama seperti calon ustadz dan aktifis dakwah. Kemudian fardhu kifayah bagi mereka yang tidak mampu otaknya seperti orang yang sangat tua. Fadhu ‘ain juga pada ilmu yang mencukupkan ia paham agamanya dan fadhu kifayah pada ilmu tambahan seperti ilmu syair. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:

“Di sana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, dari ‘Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Umar bin Yazid, beliau berkata: Umar bin Khottob menulis kepada Abu Musa Al-Asy’ari (yang isinya), “Pelajarilah As-Sunnah, pelajarilah bahasa Arab dan I’roblah Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu berbahasa Arab.”(Iqtidho’Shirotal Mustaqim hal 527 jilid I, tahqiq syaikh Nashir Abdul karim Al–‘Aql, Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof)

Bahasa Arab sangat penting, karena sarana memahami islam. Sehingga kita bisa mudah menghapal Al-Quran dan hadist, mudah tersentuh dengan Al-Quran, memahami buku-buku ulama. Hanya orang yang menguasai bahasa arab yang bisa merasakan manisnya menuntut ilmu.

Tetapi ada sebagian ikhwan-akhwat yang lalai belajar bahasa Arab, tidak serius dan ada juga yang menyerah belajar bahasa arab. Hal ini membuat mereka kurang kokoh dalam  beragama. Dan setelah diperhatikan, Ikhwan-akhwat yang kemudian kendor menunut ilmu dan hilang semangat belajar agama bahkan futur adalah mereka yang tidak serius belajar bahasa arab.

Prosesnya mungkin seperti ini: pertama mereka semangat ikut kajian di sana-sini, kemudian mulai bosan dengan kajian yang temanya itu-itu saja. Dan berpikir materi seperti ini bisa dibaca di rumah dan di internet. Akhirnya hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih. Kemudian dengan membacapun agak bosan [inipun kalau ia rajin membaca], Karena buku-buku terjemahan dan artikel materinya sangat terbatas. Akhirnya ia malah disibukkan dengan hal-hal yang kurang bermanfaat seperti facebook dan internet berjam-jam, ngobrol-ngobrol tentang akhwat padahal belum mau nikah dan lain-lain. Bahkan terjerumus dalam hal-hal yang haram. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahberkata:

وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ

“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafihal 156, Darul Ma’rifah, cetakan pertama, Asy-Syamilah).

Berbeda dengan mereka yang mengusai bahasa arab. Mereka semakin tertantang untuk belajar banyak ilmu dan tingkatan ilmu yang lebih tinggi seperti ilmu mustholah hadist, kaidah fiqh, ushul fiqh, mendengarkan muhadharah/ceramah syaikh dan menelaah kitab-kitab ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Sehingga mereka selalu disibukkan dengan ilmu, amal dan dakwah. Finally, mereka pun bisa merasakan kebahagian dan manisnya ilmu syar’i.

9.  Tidak segera mencari lingkungan dan teman yang baik


Lingkungan dan teman sangat penting, karena sangat berpengaruh dengan diri kita. Ikhwan-akhwat yang baru “ngaji” biasanya masih mudah goyang dan tidak stabil, karena diperlukan teman-teman yang shalih dan baik. Bisa dilakukan dengan tinggal di wisma atau kost-kostan khusus ikhwan dan khusus akhwat. Atau jika memungkinkan pindah kelingkungan sekitar pondok atau perumahan yang banyak ikhwannya. Atau jika tidak bisa, sering-sering silaturahmi ke ikhwan-akhwat yang shalih dan shalihah serta berkumpul bersama mereka. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur).” (QS. At Taubah: 119)

Jika tidak, maka sudah sering terdengar cerita banyak ikhwan-akhwat yang dulunya semangat “ngaji” sekarang sudah futur dan hilang dari peredaran dakwah. lingkungan dan teman yang baik memang dibutuhkan bagi semua orang.

Mengenai teman yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

Perlu diperhatikan bahwa hati manusia lemah, apalagi jika sendiri. Perlu dukungan, saling menasehati antarsesama. Selevel Nabi Musa ‘alaihissalam saja memohon kepada Allah agar punya teman seperjuangan yang bisa membantunya dan membenarkan perkataannya, yaitu Nabi Harun alaihissalam . Beliau berkata dalam Al-Quran,

 وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَاناً فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءاً يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَن يُكَذِّبُونِ

“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku , maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.(QS. Al-Qashash: 34)


10. Hilang dari pengajian dan kumpulan orang-orang shalih serta tengelam dengan kesibukan dunia


Penyebab terbesar futur adalah point ini. Majelis ilmu adalah tempat mere-charge keimanan kita, setelah terkikis dengan banyaknya fitnah dunia yang kita hadapi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya”. (HR. Muslim nomor 6793)

Dan orang-orang shalih adalah pendukung dan penguat iman kita dengan saling menasehati. Di mana dengan berteman dengan mereka, maka kita akan sering mengingat akherat dan menjadi tegar kembali dalam beragama. sebagaimana Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata,

وكنا إذا اشتد بنا الخوف وساءت منا الظنون وضاقت بنا الأرض أتيناه، فما هو إلا أن نراه ونسمع كلامه فيذهب ذلك كله وينقلب انشراحاً وقوة ويقيناً وطمأنينة

 “Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan hidup, kami  mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.”(Al Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Asy-Syamilah)

Tidak sedikit kita mendengar berita:

– Ikhwan yang dulunya semangat mengaji dan menjadi panitia-panitia kajian, kemudian bekerja di perusahaan kota A dengan gaji yang menggiurkan sekarang sudah potong jenggot,  isbal, berpacaran dan seolah-olah menjauh dari ikhwan-ikhwan jika di sms atau ditelpon.

– Akhwat yang dulunya semangat menuntut ilmu, memakai jilbab lebar, memakai cadar bahkan purdah, kemudian melanjutkan studi S2 atau S3 dikota B atau di luar negeri, kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah memakai jilbab ala kadar yang kecil “atas mekkah bawah amerikah”.

Terkadang kita tidak percaya dengan berita-berita seperti ini.Bagaimana mungkin dulu ia adalah guru bahasa arab, imam masjid dan jadi rujukan pertanyaan, sekarang menjadi seperti itu. semua ini bisa jadi karena tenggelam dengan kesibukan dunia dan terkikis fitnah secara perlahan-lahan. RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya seperti tikar, beliau bersabda,

 تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا

 “Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas”. (HR.Muslim no 144)

Demikian yang dapat kami jabarkan. Dan dampak dari beberapa kesalahan tersebut adalah:

1. Merasakan kesempitan hidup setelah mengenal dakwah ahlus sunnah

2. Dakwah tidak diterima oleh orang lain

3. Merusak nama dakwah salafiyah ahlus sunnah dan memberi kesan negatif

4. Memecah belah persatuan umat Islam...
Kita harus saling mencintai saudara sesama muslim, dakhwahkan kepada mereka dengan akhlak yang baik, jangan sampai persatuan/ukhuwah terpecah bahkan sampai bermusuhan; hanya karena berbeda pemahaman. Sekali lagi, dalam berdakwah itu hanya menampaikan. Maka kita perlu perbanyak doa untuk saudara kita agar Allah membukakan hatinya untuk menganal dan menerima cahaya sunnah dalam manhaj Salaf...

Serta marilah kita banyak-banyak berdoa agar diberi istiqomah beragama dalam manhaj salaf, manhaj Ahlussunnah wal jama'ah yang merupakan anugrah terbesar....

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

 “Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik” artinya: ‘Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu’ (HR. Tirmidzi no 2066. Ia berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh Adz-Dahabi)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Penyusun:  Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com


 

Hukum Asal Mu’âmalah (Kaedah Fiqih)


اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan
kecuali ada dalil (yang melarangnya)

MUQADIMAH

Hukum asal menetapkan syarat sah dalam ibadah adalah tidak boleh kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Dalam Mu'amalah itu suatu perkara-perkara yang tidak termasuk ibadah. Dalam hal ini, perlu kita pahami bahwa hukum suatu persyaratan tergantung pada hukum pokok perkaranya. Apabila hukum asal suatu perkara dilarang maka hukum asal menetapkan syarat juga dilarang. Dan jika hukum asal suatu perkara halal maka hukum asal menetapkan syarat juga halal.

Para fuqahâ’ telah menjelaskan bahwa mu’âmalah, baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum asalnya adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat diketahui bahwa hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah juga adalah halal dan diperbolehkan.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu kita ketahui pula bahwa dalam mu’âmalah, terutama jual beli, ada istilah syurût shihhatil bai’ (syarat sah jual beli) dan syurût fil bai’ (syarat jual beli). Yang dimaksud syarat sah adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar akad jual beli itu sah. Adapun syarat jual beli adalah syarat yang ditentukan oleh salah satu pelaku atau keduanya dan tidak berkaitan dengan keabsahan jual beli, seperti syarat pengantaran barang ke rumah si pembeli, atau persyaratan pembayaran secara cicilan, atau syarat lainnya.

Perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual beli dapat kita ketahui dari rincian berikut ini :
1. Syarat sah jual beli disyaratkan pada semua jual beli, adapun syarat jual beli terkadang ada dan terkadang tidak.
2. Jual beli tidak akan sah kecuali jika syarat sah terpenuhi, tapi jika yang tidak ada syarat jual beli maka akadnya tetap sah.
3. Syarat sah itu tertentu, tidak berubah, dan berlaku dalam semua jual beli, adapun persyaratan dalam jual beli tidak tertentu dan bisa berbeda antara satu akad dengan akad yang lainnya.
4. Syarat sah harus terpenuhi meskipun tidak disebutkan oleh kedua belah pihak. Adapun persyaratan dalam jual beli itu asalnya tidak ada kecuali jika dikehendaki dan disebutkan oleh salah satu pelaku akad dan disetujui oleh yang lainnya.
5. Hukum asal syarat sah jual beli adalah tauqîfi, artinya perlu dalil. Seseorang tidak boleh menetapkan sesuatu sebagai syarat sah kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkannya. Adapun persyaratan dalam jual beli maka hukum asalnya halal dan diperbolehkan. Artinya, seseorang tidak boleh melarang suatu persyaratan yang dikehendakai pelaku akad mu’âmalah tanpa ada dalil yang melarangnya.[1]
Persyaratan yang menjadi pembahasan kita dalam kaidah ini adalah syurût fil mu’âmalah (persyaratan dalam mu’âmalah), bukan syarat sah mu’âmalah.

MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal persyaratan dalam mu’âmalah. Persyaratan tersebut: hukum asal Mu'amalah adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang, sebagaimana hukum asal mu’âmalah itu sendiri yaitu diperbolehkan. Maka seseorang tidak diperkenankan melarang suatu persyaratan yang disepakati pelaku akad mu’âmalah kecuali jika memang ada dalil yang menunjukkan larangan terhadap persyaratan tersebut.

DALIL YANG MENDASARINYA
Di antara dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum Muslimin itu terikat dengan persyaratan yang mereka sepakati, kecuali syarat yang mengharamkan perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang haram.[2]

Dan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوْفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
Sesungguhnya persyaratan yang paling berhak untuk ditunaikan adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para wanita) [3]

Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
Mengapa ada beberapa kaum yang menetapkan syarat-syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullâh. Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullâh maka tidak ada hak baginya untuk melaksanakannya meskipun sejumlah seratus syarat.[4]

Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari persyaratan mereka, namun yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingkari adalah syarat itu menyelisihi Kitabullâh. Ini menunjukkan bahwa hukum asal menentukan syarat tertentu dalam mu’âmalah adalah diperbolehkan kecuali jika menyelisihi Kitabullâh.[5]


CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Berikut ini adalah contoh kasus yang masuk dalam implementasi kaidah ini :
1. Jika seseorang membeli setumpuk kayu dengan syarat kayu tersebut diantar ke rumahnya atau digergaji di tempat tertentu maka jual beli dan persyaratan tersebut sah karena hukum asal persyaratan itu adalah boleh.

2. Jika penjual mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan rela.” Atau ia mengatakan, “Aku jual barang ini jika si Fulan datang.”

Menurut madzhab Hambali, jual beli dengan persyaratan seperti ini tidak sah disebabkan tidak adanya perpindahan kepemilikan. Karena ada kemungkinan si Fulan rela atau tidak rela, dan ada kemungkinan si Fulan datang dan mungkin juga tidak. Sedangkan hukum asal dalam jual beli adalah berpindahnya barang dagangan dari si penjual kepada si pembeli setelah sempurnanya akad. Maka persyaratan tersebut menyebabkan akad itu tidak sah.

Namun pendapat yang kuat adalah akad dan persyaratan tersebut sah. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya dan tidak ada dalil yang melarang persyaratan ini. Maka, jika si pembeli setuju dengan syarat tersebut maka ia boleh meneruskan akad jual beli. Namun jika ia tidak setuju maka tidak ada kewajiban baginya untuk meneruskan akad itu.
Jika ada yang mengatakan, “Bukankah akad tersebut masih menggantung dan kepemilikannya belum berpindah ?” Kita jawab bahwa justru itulah tujuan penetapan syarat tersebut. Artinya, si penjual tidak mau kepemilikan barang itu berubah kecuali jika si Fulan rela dengan jual beli itu atau jika si Fulan datang.

3. Persyaratan ‘inah[6] dalam jual beli. Apabila seseorang mengatakan, “Saya jual barang ini kepadamu dengan harga 1.000 dirham dengan cara kredit, dengan syarat engkau menjualnya kembali kepadaku dengan harga 800 dirham secara tunai.” Persyaratan tersebut tidak diperbolehkan. Meskipun persyaratan dalam jual beli hukum asalnya boleh, namun khusus untuk persyaratan seperti ini dilarang karena ada dalil yang melarang, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اَلْبَقَرِ, وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمْ اَلْجِهَادَ, سَلَّطَ اَللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Apabila kalian berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk riba), dan memegang ekor-ekor sapi, dan ridha dengan pertanian (terlena dengan kehidupan dunia) dan meninggalkan jihad, maka Allâh akan menurunkan kehinaan kepada kalian. Dia (Allâh) tidak akan mengangkat kehinaan tersebut sehingga kalian kembali ke agama kalian[7]

4. Seseorang menjual rumahnya dengan syarat dia masih diijinkan menempatinya dalam waktu tertentu. Persyaratan seperti ini diperbolehkan. Demikian pula jika seseorang menjual hewan peliharaannya dengan syarat masih diijinkan memanfaatkannya selama waktu tertentu.[8]

5. Apabila seseorang menjual budaknya dengan syarat si pembeli membebaskan budak itu setelah dibeli, maka hal itu diperbolehkan. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali. Karena hukum asal menetapkan syarat dalam jual beli itu diperbolehkan selama tidak ada dalil yang secara khusus melarang penetapan syarat tersebut. Dalam hal ini, apabila dikemudian hari, si pembeli menolak untuk membebaskan budak itu, maka hakim berhak memaksanya untuk membebaskan budak itu.

6. Apabila seseorang menjual suatu barang dengan syarat seandainya di kemudian hari si pembeli akan menjual kembali barang itu maka si penjual pertama yang paling berhak untuk membelinya. Dalam kasus seperti ini sebagian Ulama’ mengharamkan persyarataan tersebut. Karena si pembeli tidak memiliki kebebasan untuk menjual barangnya kepada yang ia kehendaki, yang hal itu bertentangan dengan hakikat kepemilikan atas barang.
Namun menurut pendapat yang kuat, jual beli tersebut sah, demikian pula persyaratannya. Karena hukum asal persyaratan dalam jual beli adalah diperbolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hal ini, tidak ada dalil yang secara khusus menunjukkan larangan terhadap syarat tersebut. Jadi, jika si pembeli ridha dengan syarat tersebut maka ia bisa meneruskan akad itu, namun jika tidak, maka dia tidak wajib untuk melanjutkannya.
Dalam hal ini, jika di kemudian hari si pembeli menjual barang itu namun tidak mau menjualnya kepada si penjual pertama, maka hakim berhak memaksanya untuk menjualnya kepada pembeli pertama itu. Karena sejak semula ia telah bersedia dengan persyaratan tersebut dan telah menyetujuinya. Ini juga adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[9]

Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa di antara perbedaan antara syarat sah jual beli dengan persyaratan dalam jual beli adalah bahwa syarat sah ditentukan oleh syariat sedangkan persyaratan dalam jual beli ditentukan oleh para pelaku akad. ( Lihat Mudzakkirah al-Fiqh, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, II/185).
[2]. HR. Abu Dâwûd no. 3594 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Hadits ini disahahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl no. 1303.
[3]. HR. al-Bukhâri dalam Kitab as-Syurûth, no. 2721. Muslim dalam Kitab an-Nikah, no. 1418 dari ‘Uqbah bin ‘Âmir Radhiyallahu anhu .
[4]. HR. al-Bukhari dalam Kitab al-Buyû’, no.2155. Muslim dalam Kitab al-‘Ithqi, no.1504 dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma .
[5]. Lihat penjelasan hadits di atas dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, al-Imam Muhyiddin an-Nawawi, Cet. XIV, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ma’rifah, Beirut, IX/379-381.
[6]. Yang dimaksud ‘inah adalam jual beli adalah apabila seseorang menjual barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah. (Lihat Kitab al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, Nukhbah min al-‘Ulama’, 1424 H, Majma’ al-Malik Fahd li Taba’at al-Mus-haf as-Syarif, al-Madinah al-Munawwarah, hlm. 217).
[7]. HR. Abu Dâwûd no. 3462 dari ‘Abdullah bin ‘Umar c . Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani t dalam Silsilah al-Ahâdîts as-Shahîhah no. 11.
[8]. Sebagimana disebutkan dalam HR. al-Bukhari dalam Kitab as-Syurûth, no. 2718. Muslim dalam Kitab al-Musaqât, no. 1599 dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu.
[9]. Diangkat dari Talqih al-Afham al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-30.

Dunia yang Menipu

📜 Menyeka Fatamorgana

|| DULU DIKIRA, TAPI AH TERNYATA ... ||

•••
◾ DULU DIKIRA yang keren itu kalau bisa melafadzkan hermes, chanel atau louis vuitton dengan benar...,
TAPI ternyata apalah artinya saat gak bisa bedakan lafadz huruf hijaiyah 'da' dan 'dza', 'ta' dan 'tsa', juga 'sya' dan 'sha'..., apalagi sampai usia segini belum bisa ngaji tartil...

◾ DULU DIKIRA yang keren itu kalo bisa naik pesawat melancong keluar negeri lalu foto2 di berbagai negara, napak tilas artis2 terkenal...,
TAPI ternyata apalah artinya saat gak pernah mengunjungi Baitullaah dan Masjid Rasulullaah..., dan usia keburu habis tak bisa dikembalikan...

◾ DULU DIKIRA yang keren itu kalau anak masih kecil bisa bahasa asing.. bahasa inggris.., fasih nyanyiin lagu barat.., TAPI ternyata apalah artinya saat ditanya siapa penciptanya bahkan anak gak bisa menyebut Allah dengan lantang...asing dengan doa sehari2 seolah gak pernah hidup untuk ibadah...

◾ DULU DIKIRA yang keren itu kalau suami istri matching kemana2 serasi.., dandanan mesti maksimal..,
TAPI ternyata apalah artinya jika gak jadi partner untuk perkara akhirat.., gak saling tolong dan menasihati dalam perkara agama.., lebih pentingkan penampilan dibanding hakikat suami istri yang sesungguhnya...

◾ DULU DIKIRA yang keren itu kalau weekend jalan2 dengan keluarga ke mall atau tempat rekreasi
lainnya..harmonis...
TAPI akankah berkumpul kelak di akhirat jika suami hanya mengajak istri dan keluarga pada hal2 keduniaan lupa pada hakikat hidup yang sebenarnya...suami bahkan tidak tahu jika selama ini istrinya belum tahu cara wudhu yg benar...!

◾ DULU DIKIRA yang keren itu banyak lagi...,
TAPI semua ternyata gak ada artinya jika tidak sejalan dengan perintah Allah dan RasulNya. Apalagi jika jelas2 bertentangan...

AH TERNYATA, Dunia ini menipu .......
Dunia ini senda gurau belaka.
Segeralah menyerah pada Rabbmu, Sebelum kau tertipu lebih banyak lagi...

📇 Text Dari :

Prof. Djoko S Damardjati

------------------------------------------------------------

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ جَمَعَ اللهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَـتْهُ الدُّنْـيَا وَهِـيَ رَاغِمَـةٌ

 Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia,
maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh Azza wa Jalla akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.{Shahih: HR. Ahmad, V/183; Ibnu Mâjah, no. 4105; Ibnu Hibbân, no. 72-Mawâriduzh Zham-ân; dan al-Baihaqi, VII/288 dari Sahabat Zaid bin Tsâbit Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ibnu Mâjah. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 950}

Orang-orang yang gila kepada harta, kedudukan, jabatan, dan cinta kepada dunia mereka akan menyesal pada hari kiamat, ketika mereka diberikan catatan amalnya dari sebelah kirinya. Semua kekuasaan, jabatan, dan hartanya tidak bermanfaat di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ﴿٢٥﴾ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ ﴿٢٦﴾ يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ﴿٢٧﴾ مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ﴿٢٨﴾ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangankirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku(ini) tidak diberikan kepadaku.Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku,Wahai, kiranya (kematian)itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku samasekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” [Al-Haqqah/69:25-29]

Oleh karena itu, seorang Muslim harus zuhud terhadap dunia dan qanâ’ah (merasa puas dengan rezeki yang Allâh karuniakan kepadanya). Setiap Muslim dan Muslimah harus ingat, bahwa kita diciptakan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Kita wajib meluangkanwaktu kita untuk ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Kalau kita sibukkan diri kita dengan ibadah, melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla akan menutupi kefakiran kita. Janganlah kita disibukkan dengan dunia, dengan angan-angan, cita-cita, main-main, senda gurau, dan menumpuk-numpuk harta yang membuat kita tertipu dengan dunia.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bentuk penyia-nyiaan terbesar (yang banyak dilakukan oleh manusia–pent) yaitu ada dua dan keduanya merupakan pokok segala penyia-nyiaan; pertama menyia-nyiakan hati, kedua menyia-nyiakan waktu.“

Banyak orang yang menyia-nyiakan hatinya dengan lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Padahal dunia ini lebih jelek dari bangkai kambing, bahkan di sisi Allâh Azza wa Jalla dunia itu tidak sebanding dengan sehelai sayap nyamuk. Dan hendaknya kita ingat bahwa dunia adalah kehidupan yang menipu dan memperdaya hati manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia orang yang sukses (menang). Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”[Ali ‘Imrân/3:185]

Oh.. Dunia betapa menipunya engkau...
manisnya terlalu menyakitkan jiwa...
Hingga aku lupa hakikat diriku sendiri
Untuk apa aku dimuka bumi ini..
aku diminta hanya untuk menyembah kepada-Nya semata...
aku ingin berjumpa dengan Nya...
dengan jiwa yang tenang....

_________
🖥 Simak Video "Investasi Dunia Akhirat "
Bersama DR Khalid Basalamah.. Dijelaskan apa tujuan dan hakikat kehidupan

kita sesungguhnya

http://youtu.be/wW8QQt8ZyZk
________
📲 Download dan

SUBSCRIBE Video Kajian lain nya disini :
www.youtube.com/c/ammartv
________
📮📦 ForumKajianIlmiah
🏅🏅🏅🏅🏅🏅🏅🏅🏅

Rabu, 19 Desember 2018

Apa ada dalil yang Memerintahkannya ? (Kaedah Fiqih Ibadah)

Dalam masalah ibadah mahdhoh kepada Allah yang harus ditanyakan adalah "Apakah ada dalil yang mensyari'atkannya ?". Bukan malah bertanya, "Apakah ada dalil yang melarangnya ?"

Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, “ Mana dalil yang memerintahkan? ”

Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,
ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil). ”

Guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri – semoga Allah menjaga dan memberkahi umur beliau- berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah , hal. 90).

Dalil Kaedah
Dalil yang menerangkan kaedah di atas adalah dalil-dalil yang menerangkan tercelanya perbuatan bid’ah. Bid’ah adalah amalan yang tidak dituntunkan dalam Islam, yang tidak ada pendukung dalil. Dan bid’ah yang tercela adalah dalam perkara agama, bukan dalam urusan dunia.
Di antara dalil kaedah adalah firman Allah
Ta’ala ,
ﺃَﻡْ ﻟَﻬُﻢْ ﺷُﺮَﻛَﺎﺀُ ﺷَﺮَﻋُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺫَﻥْ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻠَّﻪُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? ” (QS. Asy-Syuraa: 21).

Juga didukung dengan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha , Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻓِﻰ ﺃَﻣْﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718). Dalam riwayat lain disebutkan,
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).

Begitu pula dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﺇِﻳَّﺎﻛُﻢْ ﻭَﻣُﺤْﺪَﺛَﺎﺕِ ﺍﻷُﻣُﻮﺭِ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟَﺔٌ
“Hati-hatilah dengan perkara baru dalam agama. Karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, An Nasa-i no. 46. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih )
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa kita baru bisa melaksanakan suatu ibadah jika ada dalilnya, serta tidak boleh kita merekayasa suatu ibadah tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.

Perkataan Ulama
Ulama Syafi’i berkata mengenai kaedah yang kita kaji saat ini,
ﺍَﻟْﺄَﺻْﻞَ ﻓِﻲ ﺍَﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ ﺍَﻟﺘَّﻮَﻗُّﻒ
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil).” Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺘَّﻘْﺮِﻳﺮ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺆْﺧَﺬ ﻋَﻦْ ﺗَﻮْﻗِﻴﻒ
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari , 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﻐَﺎﻟِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺘَّﻌَﺒُّﺪُ ، ﻭَﻣَﺄْﺧَﺬُﻫَﺎ ﺍﻟﺘَّﻮْﻗِﻴﻒُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini disebutkan oleh beliau dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.

Dalam buku ulama Syafi’iyah lainnya, yaitu kitab Ghoyatul Bayan Syarh Zubd Ibnu Ruslan disebutkan,
ﺍﻷﺻﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺍﻟﺘﻮﻗﻴﻒ
“Hukum asal ibadah adalah tawqif (menunggu sampai adanya dalil).”

Ibnu Muflih berkata dalam Al Adabu Asy Syar’iyah ,
ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝَ ﺍﻟﺪِّﻳﻨِﻴَّﺔَ ﻟَﺎ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﺃَﻥْ ﻳُﺘَّﺨَﺬَ ﺷَﻲْﺀٌ ﺳَﺒَﺒًﺎ ﺇﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻣَﺸْﺮُﻭﻋَﺔً ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﻣَﺒْﻨَﺎﻫَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺘَّﻮْﻗِﻴﻒِ
“Sesungguhnya amal diniyah (amal ibadah) tidak boleh dijadikan sebagai sebab kecuali jika telah disyari’atkan karena standar ibadah boleh dilakukan sampai ada dalil.”

Imam Ahmad dan para fuqoha ahli hadits -Imam Syafi’i termasuk di dalamnya- berkata,
ﺇﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺘَّﻮْﻗِﻴﻒُ
“Hukum asal ibadah adalah tauqif (menunggu sampai adanya dalil)” (Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 29: 17)

Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah untuk membedakan ibadah dan non-ibadah. Beliau
rahimahullah berkata,
ﺇﻥَّ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺘَّﻮْﻗِﻴﻒُ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺸْﺮَﻉُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺇﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺷَﺮَﻋَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ . ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﻗَﻮْﻟِﻪِ : } ﺃَﻡْ ﻟَﻬُﻢْ ﺷُﺮَﻛَﺎﺀُ ﺷَﺮَﻋُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺫَﻥْ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻠَّﻪُ { . ﻭَﺍﻟْﻌَﺎﺩَﺍﺕُ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮُ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺤْﻈُﺮُ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺇﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻣَﻪُ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ ﻓِﻲ ﻣَﻌْﻨَﻰ ﻗَﻮْﻟِﻪِ : } ﻗُﻞْ ﺃَﺭَﺃَﻳْﺘُﻢْ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺭِﺯْﻕٍ ﻓَﺠَﻌَﻠْﺘُﻢْ ﻣِﻨْﻪُ ﺣَﺮَﺍﻣًﺎ ﻭَﺣَﻠَﺎﻟًﺎ { ﻭَﻟِﻬَﺬَﺍ ﺫَﻡَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺷَﺮَﻋُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺫَﻥْ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺣَﺮَّﻣُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﺤَﺮِّﻣْﻪُ
“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “ Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal ” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).

Contoh Penerapan Kaedah
– Beribadah dengan tepuk tangan dan musik dalam rangka taqorrub pada Allah seperti yang dilakukan kalangan sufi.
– Perayaan tahun baru Islam dan Maulid Nabi.
– Shalat tasbih karena didukung oleh hadits dho’if [1] .
Demikian contoh-contoh yang disampaikan oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah , hal. 91.

Tambahan: Bid’ah dalam Ibadah
Kadang amalan tanpa tuntunan (alias: bid’ah) adalah hanya sekedar tambahan dari ibadah yang asli. Apakah tambahan ini membatalkan amalan yang asli?
Di sini ada dua rincian:
1- Jika tambahan tersebut bersambung (muttashilah ) dengan ibadah yang asli, ketika ini, ibadah asli ikut rusak.
Contoh: Jika seseorang melakukan shalat Zhuhur lima raka’at (dengan sengaja), maka keseluruhan shalatnya batal. Dalam kondisi ini, tambahan raka’at tadi bersambung dengan raka’at yang asli (yaitu empat raka’at).
2- Jika tambahan tersembut terpisah (munfashilah ). Maka ketika itu, ibadah asli tidak rusak (batal).
Contoh: Jika seseorang berwudhu’ dan mengusap anggota wudhunya (dengan sengaja) sebanyak empat kali-empat kali. Kali keempat di situ dihukumi bid’ah namun tidak merusak usapan tiga kali sebelumnya. Alasannya, karena usapan pertama sampai ketiga dituntunkan sedangkan keempat itu tambahan (tidak ada asalnya), sehingga dianggap terpisah.
Lihat keterangan akan hal ini dalam Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah , hal. 92 oleh guru kami, Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri hafizhohullah .

Tidak Tepat!
Tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah ibadah, ada yang berujar, “ Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot … ”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalil yang melarang untuk membuat ibadah tanpa tuntunan,
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718).

Hadits tersebut sudah jelas menunjukkan bahwa kita harus berhenti sampai ada dalil, baru kita boleh melaksanakan suatu ibadah. Jika ada yang membuat suatu ibadah tanpa dalil, maka kita bisa larang dengan hadits tersebut; dan itu sudah cukup tanpa mesti menunggu dalil khusus. Karena perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu jaami’ul kalim , maksudnya adalah singkat namun syarat makna. Jadi dengan kalimat pendek saja sudah bisa menolak berbagai amalan tanpa tuntunan, tanpa mesti dirinci satu per satu.
Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits di atas, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan ‘Mukhtashor An Nawawi’ , hal. 72)

Terbalik!
Sebenarnya kita lebih banyak berhubungan kepada sesama manusia atau berkubang pada perkara duniawi. Kita sholat 5 waktu hanya membutuhkan lebih kurang satujam dalam sehari, sisa waktunya untuk aktivitas sehari-hari. Maka inilah yang menunjukkan indahnya Islam. Hakikat dari Ibadah dalam Islam itu luas. Termasuk pada aktivitas kita yang mubah, jika diniatkan dengan baik karena Allah, hal tersebut menjadi ladang pahala bagi kita. Allah azza wa jalla memberi keluasan dan kemudahan bagi manusia untuk beribadah dengan amalan soleh, karena Allah mencintai orang yang berbuat baik dan membenci orang yang berbuat kerusakan. Maka dari itu, sesungguhnya hukum asal perkara duniawi adalah boleh/halal sampai ada dalil yang mengharamkanya.

اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya)

Kalau bertanya, "Apakah ada dalil yang melarang?" Pertanyaan tersebut pantas untuk perkara mu'amalah; bukan untuk perkara 'Ubuddiyyah kepada Allah azza wa jalla. Sedangkan dalam perkara ibadah Mahdhoh barulah, kita bertanya "Apakah ada dalil yang memerintahkannya ?"

Sehingga bagi yang melakukan amalan tanpa tuntunan, perlu kita tanya, “Mana dalil yang memerintahkan untuk melakukan ibadah tersebut? ” Jangan bertanya, “Mana dalil yang mengharamkan? ”
Jika ia bertanya seperti pertanyaan kedua, ini jelas, bahwa ia tidak paham kaedah yang digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, serta juga tidak paham perkataan ulama.

Kaedah yang kita kaji saat ini menunjukkan bagaimana Islam betul-betul menjaga syari’at, tidak dirusak oleh kejahilan dan kebid’ahan.

Hanya Allah yang memberikan petunjuk ke jalan penuh hidayah.

Suatu ketika, Sa’id Ibnul Musayyib rahimahullah melihat seseorang yang shalat lebih dari 2 raka’at setelah terbitnya fajar. Orang tersebut memperbanyak ruku’ dan sujud. Kemudian beliau melarang orang tersebut meneruskan sholatnya. Orang tersebut pun berkata, “Hai Abu Muhammad (panggilan Sa’id Ibnul Musayyib-pen)! Apakah Allah akan menyiksa aku karena sholatku?” Beliau menjawab, “Tidak, akan tetapi Allah akan menyiksamu karena kamu menyelisihi sunnah!”



sumber: www.rumaysho.com
[1] Walaupun tentang penshohihan hadits shalat tasbih, para ulama berselisih pendapat. Pembahasan shalat tasbih telah dibahas Rumaysho.com

Hukum Suatu Amalan Ibadah dalam Islam (Kaedah Fiqih Ibadah)

Hukum Asal Suatu Ibadah Tidaklah Ada Kecuali Jika Ada Dalilnya

QAWA’ID FIQHIYAH

ﺍْﻷَﺻْﻞُ ﻓِﻲ ﺷُـﺮُﻭْﻁِ ﺍﻟْﻌِﺒَـﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤَﻨْـﻊُ ﻭَﺍﻟْﺤَﻈْـﺮُ ﺇِﻻَّ ﺑِﺪَﻟِﻴْﻞٍ
Hukum asal syarat sah suatu ibadah tidaklah ada kecuali jika ada dalilnya

MUQADIMAH
Sesungguhnya kita diperintahkan untuk beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan mengerjakan ibadah-ibadah wajib maupun sunnah. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menunjukkan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Berkaitan dengan rincian ibadah, Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan kesempatan bagi akal manusia untuk menentukan dan menetapkannya. Karena akal tidak bisa berdiri sendiri untuk mengetahui mana ibadah yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Yang berhak menetapkan syarat-syarat sah suatu ibadah adalah Allâh Azza wa Jalla semata, baik melalui al-Qur’ân maupun melalui lisan nabi-Nya. Maka seseorang tidak berhak mengaitkan keabsahan suatu ibadah dengan sesuatu hal kecuali jika ada dalil yang menjadi landasannya. Karena penentuan syarat suatu ibadah merupakan wewenang Allâh Azza wa Jalla yang telah mensyariatkan ibadah itu. Barangsiapa menentukan syarat sah suatu ibadah berdasarkan akal semata maka hakikatnya ia telah menjadikan dirinya sebagai pembuat syariat bersama Allâh Azza wa Jalla .


Di samping itu, perlu dipahami juga bahwa tidak diperbolehkan mengaitkan suatu ibadah dengan suatu syarat yang didasarkan pada dalil lemah. Karena dalil yang lemah tidak dapat dijadikan pijakan dalam permasalahan ahkam (hukum-hukum syar’i).

MAKNA KAIDAH
Sebagaimana telah diisyaratkan dalam uraian di atas, bahwa kaidah ini menjelaskan tentang hukum asal penetapan syarat sah suatu ibadah. Di mana, keberadaan sesuatu bisa ditetapkan menjadi syarat sah suatu ibadah jika didasari dalil yang menjelaskannya.
Maka sebagaimana hukum asal suatu ibadah itu adalah terlarang, maka demikian pula syarat-syarat ibadah dan tata caranya, hukum asalnya juga terlarang, dan tidak boleh ditetapkan kecuali jika ada dalil shahih dan sharih (tegas) yang menunjukkannya.

DALIL KAIDAH INI
Kaidah ini masuk dalam keumuman larangan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya dari mengada-adakan perkara baru dalam agama. Juga masuk dalam keumuman kaidah bahwa hukum asal suatu ibadah adalah dilarang kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya. Di antara dalil yang menjelaskannya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
ﺃَﻡْ ﻟَﻬُﻢْ ﺷُﺮَﻛَﺎﺀُ ﺷَﺮَﻋُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺄْﺫَﻥْ ﺑِﻪِ ﺍﻟﻠَّﻪُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ? [as-Syûrâ/42:21]

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Maka hukum asalnya adalah dilarang bagi setiap orang untuk menetapkan suatu amalan (ibadah) yang tidak ada tuntunannya dari Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula dari rasul-Nya.”[1]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan perintah kami maka ia tertolak.[2]
Imam Ibnu Rajab al-Hambali ketika menjelaskan ayat ini mengatakan, “Teks hadits ini menjelaskan bahwa setiap amalan yang tidak ada tuntunannya di dalam syariat, maka amalan itu tertolak. Dan secara tersirat menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilandasi tuntunan dalam syariat, maka amalan itu tidaklah ditolak.”[3]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagian Ulama’ mensyaratkan kehadiran minimal empat puluh orang untuk keabsahan shalat Jum’at. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.[4] Namun, jika kita cermati, ternyata tidak ada dalil yang mendasarinya kecuali dalil yang lemah. Di antaranya adalah hadits Jâbir bin ‘Abdlullâh Radhiyallahu anhu :
ﻣَﻀَﺖِ ﺍﻟﺴُّﻨَّﺔُ ﺃَﻥَّ ﻓِﻲْ ﻛُﻞِّ ﺃَﺭْﺑَﻌِﻴﻦَ ﻓَﻤَﺎ ﻓَﻮْﻗَﻬَﺎ ﺟُﻤْﻌَﺔٌ
Telah berlalu sunnah bahwa setiap empat puluh orang ke atas diwajibkan shalat Jum’at.”[5]
Hadits tersebut adalah hadits yang sangat lemah.
Demikian pula, sebagian Ulama ada mensyaratkan kehadiran sejumlah dua belas orang untuk keabsahan shalat Jum’at, sebagaimana dipegang oleh madzhab Mâliki. Pendapat ini meskipun didasari oleh dalil yang shahîh namun tidak secara tegas menunjukkan tentang penetapannya sebagai syarat.[6]
Oleh karena tidak ada dalil yang mensyaratkan jumlah tertentu untuk keabsahan shalat jum’at, maka sebagian Ulama’ memandang sahnya shalat jum’at yang dihadiri oleh dua orang saja, karena dua orang sudah terhitung jama’ah. Sebagian Ulama lainnya berpendapat sahnya shalat Jum’at dengan dihadiri tiga orang, di mana satu orang berkhutbah dan dua orang lainnya mendengarkan khutbah. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t , dan ini adalah pendapat yang kuat karena menurut pendapat yang shahih di kalangan ahli ushul fiqh bahwa jumlah jama’ paling sedikit adalah tiga.[7]

2. Sebagian Ulama mensyaratkan tujuh basuhan dalam membersihkan najis. Ini adalah sebuah riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah[8] . Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :
ﺍِﻏْﺴِﻠُﻮْﺍ ﺍْﻷَﻧْﺠَﺎﺱَ ﺳَﺒْﻌًﺎ
Cucilah najis sebanyak tujuh kali
Akan tetapi hadits tersebut tidak memiliki sanad yang shahih, bahkan sekedar disebutkan dalam kitab-kitab fiqih tanpa penyebutan sanadnya. Maka, dalam membersihkan najis tidak disyaratkan jumlah tertentu dalam membasuhnya, kecuali najis jilatan anjing yang harus dibasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dengan tanah. Dikecualikan pula dalam istijmâr untuk membersihkan najis yang keluar dari dua jalan, yang harus diusap sebanyak tiga kali. Adapun selainnya maka tidak ada ketentuan jumlah tertentu dalam membasuhnya, karena hukum asal syarat sah suatu ibadah adalah tawaqquf (membutuhkan adanya dalil), dan jika tidak ada dalil secara khusus maka asalnya dalam menbersihkan najis adalah dengan disiram dengan air sampai benda najisnya itu hilang. Dan tidak terikat dengan jumlah tertentu dalam membasuhnya.[9]

3. Sebagian Ulama mempersyaratkan ucapan tahmîd, wasiat bertaqwa, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan membaca ayat al-Qur’ân untuk keabsahan khutbah Jum’at. Ini adalah penetapan syarat sah suatu ibadah, di mana hukum asal dalam hal ini adalah tawaqquf. Dan jika kita perhatikan dalil-dalil yang menjelaskan tentang masalah ini, ternyata dalil-dalil tersebut tidaklah menunjukkan makna wajib, hanya menunjukkan kepada perkara yang sunnah. Maka penetapan syarat sah tersebut merupakan suatu hal yang kurang tepat.[10]

4. Sebagian fuqaha’ mensyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat bagi orang yang ingin mengerjakan sujud tilâwah dan sujud syukur. Karena mereka berpendapat bahwa sujud tilâwah dan sujud syukur sama dengan shalat. Maka kita katakan bahwa hal itu merupakan penetapan syarat terhadap suatu ibadah, sehingga membutuhkan dalil yang menunjukkan hal itu. Apabila kita perhatikan dalil-dalil yang disebutkan dalam masalah ini, ternyata tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk menetapkan syarat tersebut. Bahkan disebutkan dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , di mana ia berkata :
ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ n ﻳَﻘْﺮَﺃُ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﺍﻟﺴُّﻮْﺭَﺓَ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟﺴَّﺠْﺪَﺓُ ﻓَﻴَﺴْﺠُﺪُ ﻭَﻧَﺴْﺠُﺪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﻳَﺠِﺪُ ﺃَﺣَﺪُﻧَﺎ ﻣَﻮْﺿِﻊَ ﺟَﺒْﻬَﺘِﻪِ
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membacakan kepada kami satu surah yang di dalamnya terdapat ayat sajdah, maka beliau sujud dan kami pun ikut sujud, sampai-sampai salah seorang di antara kami tidak mendapatkan tempat untuk meletakkan keningnya[11]
Dalam hadits tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para shahabat untuk berwudhu terlebih dahulu, sedangkan dalam kaidah dikatakan bahwa tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pensyaratan yang disebutkan sebagian fuqaha’ tersebut tidaklah tepat.
Demikian pula sujud syukur. Tidak ada dalil yang menjelaskan wajibnya berwudhu, menutup aurat, atau pun menghadap kiblat untuk melaksanakan sujud syukur. Maka penetapan syarat tersebut untuk sujud syukur adalah pensyaratan yang tidak didasari oleh dalil, sedangkan hukum asal syarat tersebut adalah tidak ada. Oleh karena itu lah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa tidak disyaratkan terpenuhinya syarat-syarat sah shalat untuk keabsahan sujud tilawah dan sujud syukur. Karena sujud tersebut bukanlah sholat. Namun, tidak diragukan bahwa seorang yang melakukan sujud tilawah dan sujud syukur dengan memenuhi syarat-syarat sholat adalah lebih utama dikarenakan dua alasan, yaitu dalam rangka keluar dari perselisihan ulama, dan karena hal itu lebih sempurna dalam melaksanakan ibadah.[12]
Wallahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Taisîrul Karîmir Rahman fi Tafsîr Kalâmil Mannan, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, Hlm. 1064.
[2]. HR. al-Bukhâri, dalam Kitab as-Shulh, no. 2697 dan Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah, no. 1718.
[3]. Jâmi’ul ‘Ulûm wa al-Hikam fi Syarh Khamsîn Hadîtsan min Jawâmi’ al-Kalim, Imam Zainuddin Abu al-Farj Abdurrahman bin Syihabuddin, Cet. I, Tahun 1429 H/2008 M, Dar Ibn Katsir, Beirut, Hlm. 156.
[4]. Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan jumlah minimal jama’ah yang disyaratkan hadir untuk keabsahan shalat Jum’at. Di antara mereka ada yang berpendapat seorang saja bersama imam. Ini pendapat Imam at-Thabari rahimahullah . Ada pula yang berpendapat dua orang selain imam. Ada juga yang berpendapat tiga orang selain imam, ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Di antara mereka ada yang mensyaratkan kehadiran minimal 40 orang. Ini pendapat Imam as-Syâfi’i rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah. Ada pula yang mensyaratkan jumlah minimal 30 orang. Ada pula yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, tetapi harus lebih dari empat orang. Ini adalah pendapat Imam Mâlik (Lihat Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, al-Imam al-Qadhi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi, Tanpa Tahun, Dar al-Fikr, I/115)
[5]. HR. al-Baihaqi dalam al- Kubra 3/ 177. Hadits ini dha’if sebagaimana didha’ifkan oleh Syaikh al Albâni dalam Irwâ’ul Ghalîl no. 603.
[6]. Dalil yang dijadikan pegangan oleh para Ulama yang berpegang dengan pendapat ini di antaranya adalah HR. Muslim no. 863dari Jâbir bin ‘Abdullah Radhiyallahu anhu .
[7]. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa jumlah minimal jama’ah yang hadir agar shalat Jum’at itu sah adalah tiga orang. Ini juga pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan juga madzhab Hanafi. (Lihat Mudzakkirah al-Fiqh, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1428 H/2007 M, Dar al-Ghad al-Jadid, Kairo, I/230).
[8]. Lihat perselisihan Ulama dalam masalah ini dalam Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, I/62
[9]. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, yaitu tidak disyaratkan jumlah basuhan tertentu dalam membersihkan najis mutawasshithah, dan yang dijadikan ukuran adalah hilangnya benda najis tersebut. (Lihat Mudzakkiratul Fiqh, I/95).
[10]. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa bacaan tahmîd, wasiat bertakwa, membaca ayat al-Qur’ân, dan shalawat kepada Nabi bukanlah syarat sah shalat Jum’at. Yang disyaratkan hanyalah khutbah itu berisi mau’izhah (nasehat). (Lihat Mudzakkiratul Fiqh, I/233).
[11]. HR. al-Bukhâri, dalam Kitab Sujûdil Qur’ân, no. 1075. Muslim dalam Kitab al-Masâjid wa Mawâdhi’us Shalah, no. 575.
[12]. Diangkat dari Talqîhul Afhâm al-‘Aliyyah bi Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, Syaikh Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Kaidah Ke-30.

Copyright © 2018 Almanhaj - Media Salafiyyah

Ibadah, Apa itu?

IBADAH DALAM ISLAM[1]


A. Definisi Ibadah (عبادة)
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Kata ibadah adalah bentuk dasar (isim masdar) dari kata ‘abada – ya’budu [عَبَدَ – يَعْبُدُ], yang secara bahasa artinya merendahkan diri dan ketundukan (al-khudhu’ wa tadzallul).

Jalan yang sering dilewati, diungkapkan orang arab dengan istilah thariq muabbad [طَرِيقٌ مُعَبَّدٌ] yang secara bahasa berarti jalan yang dihinakan. Mereka sebut dengan thariq muabbad, karena jalan ini sering dilalui, sehingga sering diinjak-injak.

Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:

1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.

2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3. Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allâh, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.” (Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh)

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah Yang Benar
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Sebagian Salaf berkata [2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq [3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy [5]. Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

Sebagian ulama dan ahli ibadah punya keyakinan bahwa jika seseorang beribadah dan mengharap-harap balasan akhirat yang Allah janjikan maka ini akan mencacati keikhlasannya. Walaupun mereka tidak menyatakan batalnya amalan karena maksud semacam ini, namun mereka membenci jika seseorang punya maksud demikian. Mereka pun mengatakan, “Jika aku beribadah pada Allah karena mengharap surga-Nya dan karena takut akan siksa neraka-Nya, maka aku adalah pekerja yang jelek. Tetapi aku hanya ingin beribadah karena cinta dan rindu pada-Nya.” Perkataan ini juga dikemukakan oleh Robi’ah Al ‘Adawiyah, Imam Al Ghozali dan Syaikhul Islam Ismail Al Harowi. Di antara perkataan Robi’ah Al Adawiyah dalam bait syairnya, “Aku sama sekali tidak mengharap surga dan takut pada neraka (sebagai balasan ibadah). Dan aku tidak mengharap rasa cintaku ini sebagai pengganti.” Jadi intinya mereka bermaksud mengatakan bahwa janganlah seseorang beramal karena ingin mengharap pahala, mengharap balasan di sisi Allah, ingin mengharap surga atau takut pada siksa neraka. Ini namanya tidak ikhlas. Namun jika kita perhatikan kembali pada Al Qur’an dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh pendapat mereka-mereka jauh dari kebenaran.


C. Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:

a. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b. Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah: 112]

Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.[7]

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]

2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.

3. Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita [8]. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).

4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

PAHAM-PAHAM YANG SALAH TENTANG PEMBATASAN IBADAH
Ibadah adalah perkara tauqifiyah . Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” [Hadits Riwayat. Al-Bukhari dan Muslim]

Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia ber-dosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan ta’at. Ke-mudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang di-syari’atkan adalah sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا

“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana di-perintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” [Hud/11 : 112]

Ayat Al-Qur’an ini adalah garis petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan ber-istiqamah dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau le-bih, sesuai dengan petunjuk syari’at (sebagaimana yang diperintahkan padamu). Kemudian Dia menegaskan lagi dengan firmanNya: “Dan janganlah kamu melampaui batas.”

Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, “Saya puasa terus dan tidak berbuka”, dan yang kedua berkata, “Saya shalat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak menikahi wanita”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barangsiapa tidak menyukai jejakku maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku.” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Ada Dua Golongan Yang Saling Bertentangan Dalam Soal Ibadah.

Golongan Pertama.
Yang mengurangi makna ibadah serta mere-mehkan pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.

Memang masjid mempunyai keistimewaan dan harus diperguna-kan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.

Golongan Kedua.
Yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada batas ekstrim; yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya.

Padahal sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang bid’ah.


D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.

Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.


E. Cakupan Ibadah

Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

1.Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Dalam kitab ad-Dînul Khâlish, 1/215, disebutkan  pengertian ibadah mahdhah, “Segala yang diperintahkan oleh Pembuat syari’at (yaitu:  Allâh Subhanahu wa Ta’ala -pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allâh Azza wa Jalla .”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wudhu adalah ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, maka itu adalah ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.” [Al-Mustadrak ‘ala Majmû’ al-Fatâwâ, 3/29; Mukhtashar al-Fatâwâ al-Mishriyah, hlm. 28]

Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari asal disyari’atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya.

Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a.Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan

Ibadah hati yang terbagi menjadi dua bagian:

    Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqâd (keyakinan; kepercayaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allâh, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya dan sifat-Nya, mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
    ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dan lainnya.

b.Ibadah perkataan atau lisan

Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbîh, tahmîd, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allâh, mengajarkan ilmu syari’at, dan lainnya.

c.Ibadah badan

Di antaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.

d.Ibadah harta

Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.

2.Ibadah Ghairu Mahdhah

Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.

Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan dengan niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan maksiat.

Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.

Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

a.Melaksanakan wâjibât (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandûbât (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah Allâh

Misalnya:

    Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allâh.
    Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allâh.
    Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
    Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allâh dengan baik.
    Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.
    Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencarai pahala Allâh.
    Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari wajah Allâh.
    Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allâh.
    Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari wajah Allâh.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Dari Abu Mas’ûd Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allâh dengan-Nya, maka itu shadaqah baginya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 55]

Dalam hadits lain diriwayatkan:

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allâh dengan-Nya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu”. [HR. Al-Bukhari, no. 56]

b.Meninggalkan muharramât (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla

Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allâh, takut terhadap siksa-Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.

Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya,  maka dia tidak mendapatkan pahala.

Dalilnya adalah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” يَقُولُ اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً، فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ “

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allâh berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali”. (HR. Al-Bukhâri, no. 7501)

c.Melakukan mubâhât (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala

Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.

Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab:

أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنَ النَّوْمِ، فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي

Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allâh takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4341]

Ini semua menunjukkan bahwa ibadah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Semoga Allâh memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya


_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
[2]. lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3]. Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4]. Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman hanya dalam hati.
[5]. Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6]. HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma
[7]. Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal. 221-222).
[8]. Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3.
[9]. Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid.



sumber and read more:
https://almanhaj.or.id/6709-makna-dan-cakupan-ibadah.html
https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html

(dengan beberapa perubahan dan tambahan)